BAB I
PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir sangat berarti  bagi profesi akuntan dan khususnya para auditor. Berbagai peristiwa  telah memberi tantangan tetapi juga kesempatan dan pertumbuhan yang  besar. Hal ini terjadi karena bursa saham menggelembung di akhir tahun  1990-an, dipicu sebagian oleh spekulasi mengenai masa depan perusahaan  “dotcom”, yang berlanjutdengan pencipataan “kekayaan di atas kertas”  yang tak terduga. Hiruk pikuk di pasar keuangan membawa kepada gagasan  mengenai “ekonomi baru” dan tampaknya menimbulkan perilaku egois dari  perusahaan Amerika mengenai “ambil semua yang bisa kau raih,  bagaimanapun caranya.”
Gelembung bursa saham pecah di musim semi  tahun 2000, dan pada musim gugur tahun 2001. Terungkap bahwa eksekutif  puncak Enron, raksasa energi yang berpusat di Huston, Texas telah menipu  investor dengan secara curang mengelembungkan profitabilitas perusahaan  dan apapun penyebabnya, Arthur Andersen sebagai kantor akuntan publik  yang telah mengaudit laporan keuangan Enron telah gagal untuk melaporkan  ketidaklayakan sistem akuntansi di Enron.
Kecurangan akuntansi  Enron bukan yang terbesar sepanjang sejarah, tetap mungkin yang paling  terkenal karena mengakibatkan runtuhnya Arthur Anndersen dan memicu  kemarahan yang hebat dari investor, kreditor, pembuat peraturan dan  pemerintah.
BAB II
PEMBAHASAN
Enron Corporation  adalah sebuah perusahaan energi Amerika yang berbasis di Houston, Texas,  Amerika Serikat. Sebelum bangkrutnya pada akhir 2001, Enron  mempekerjakan sekitar 21.000 orang pegawai dan merupakan salah satu  perusahaan terkemuka di dunia dalam bidang listrik, gas alam, bubur  kertas dan kertas, dan komunikasi. Enron mengaku penghasilannya pada  tahun 2000 berjumlah $101 milyar. Fortune menamakan Enron "Perusahaan  Amerika yang Paling Inovatif" selama enam tahun berturut-turut.
2.1 TINJAUAN UMUM KASUS ENRON CORPORATION
Sejarah,  kata Francis Fukuyama, telah berakhir dengan kemenangan demokrasi dan  pasar bebas. Kenapa demokrasi Amerika tak bisa mengakhiri sejarah  ketamakan manusia akan uang serta kekuasaan?
Enron Corp. adalah  “pencakar langit” dalam dunia bisnis Amerika, sama seperti Gedung World  Trade Center yang menjulang tinggi di kota New York. Mirip Tragedi WTC,  tapi minus darah dan kematian, Enron menguap jadi debu saat perusahaan  itu menyatakan diri bangkrut pada 2 Desember lalu, kebangkrutan terbesar  dalam sejarah bisnis Amerika sepanjang masa.
Kali ini, tak ada  Usamah bin Ladin atau Al Qaidah yang bisa menjadi kambing hitam. Publik  Amerika dipaksa untuk menuding cacat dalam sistemnya sendiri-sistem  ekonomi maupun politiknya-sebagai “teroris” yang merontokkan Enron  secara mengejutkan itu.
Mengejutkan dan mencengangkan. Belum lama  berselang, perusahaan raksasa energi itu masih bertengger di peringkat  ke-7 dalam “Fortune 500″-daftar perusahaan terkaya dunia versi Majalah  Fortune. Omsetnya bisnisnya pada tahun 2000 lalu tercatat sekitar US$  100 milyar, kurang-lebih sama dengan total pendapatan kotor negeri  sebesar Indonesia pada tahun yang sama.
Enron dipandang sukses  menyulap diri dari sekadar perusahaan pipanisasi gas alam di Negara  Bagian Texas pada 1985 menjadi raksasa global dalam beberapa tahun  terakhir. Dia membeli perusahaan air minum di Inggris dan membangun  pembangkit listrik swasta di India. Konsep bisnisnya yang visioner dan  futuristik membuat dia menjadi anak emas di lantai bursa Wall Street.  Harga sahamnya terus meroket.
Akhir 1999, Enron meluncurkan  EnronOnline yang dianggap akan mengubah wajah bisnis energi masa depan.  Memanfaatkan Internet, divisi e-commerce itu membeli gas, air minum dan  tenaga listrik dari produsen dan menjualnya kepada pelanggan atau  distributor besar. Enron bahkan memperluas wilayah: membangun jaringan  telekomunikasi berkecepatan tinggi serta bertekad menjual bandwidth  jaringan itu seperti dia menjual gas dan listrik. Setelah itu mungkin  dia akan jual-beli online untuk kertas daur ulang pabrik miliknya.
Tak  lama setelah dia memasuki bisnis jasa video-on-demand-menjual tayangan  video kepada pelanggan via sambungan internet kecepatan tinggi–harga  saham Enron mencapai puncaknya, US$ 90 per lembar, pada Agustus 2000.  Meski kemudian merosot bersama jatuhnya saham-saham teknologi dan  internet lain, pertengahan tahun lalu nilai pasar Enron (jumlah lembar  saham dikalikan harganya) masih berkisar US$ 60 milyar, atau dua kali  lipat anggaran belanja Indonesia.
Miliaran dolar menguap hampir  seketika. Pada Oktober 2001 Enron menjatuhkan bom di Wall Street dengan  melaporkan kerugian ratusan juta dolar pada kwartal itu. Sangat  mengejutkan karena Enron hampir selalu membawa berita gembira ke lantai  bursa dengan selama empat tahun berturut-turut melaporkan keuntungan.  Kabar buruk itu membanting harga saham Enron dari sekitar US$ 30 menjadi  US$ 10 per lembar, hanya dalam hitungan hari.
Securities  Exchange Commission (SEC), badan pengawas pasar modal, membaui ada yang  tidak beres dan mulai menggelar penyidikan. Dalam kondisi terdesak,  Enron menjatuhkan bom lebih dahsyat lagi ke lantai bursa ketika pada 8  November mengakui bahwa keuntungannya selama ini adalah fiksi belaka.  Enron merevisi laporan keuangan lima tahun terakhir dan membukukan  kerugian US$ 586 juta serta tambahan catatan utang sebesar US$ 2,5  miliar.
Harga saham Enron makin berkeping. Namun, pada akhir  November, Enron sedikit bisa bernafas lega ketika Dynegy Inc, pesaingnya  yang jauh lebih kecil, berniat membeli sahamnya dalam sebuah  kesepakatan merger. Harapan itu tak berumur lama. Spiral kematian terus  berlanjut. Dynegy mundur setelah Enron makin kehilangan kepercayaan  investor dan rating kreditnya jatuh ke titik terendah-berstatus  “junk-bond”.
Dalam sebuah hari yang paling “berdarah”, ketika tak  kurang seperempat milyar lembar sahamnya dipertukarkan di lantai bursa,  harga Enron meluncur ke dasar jurang. Hanya puluhan sen nilainya.  Beberapa hari kemudian Enron menyerah: mengajukan petisi bangkrut.
Seperti  timbunan besi dan beton bekas bangunan WTC di Manhattan, Enron adalah  puing berdebu sekarang. Tapi, cerita tak berakhir di situ.
Punahnya  Enron meninggalkan kerugian milyaran dolar bagi investor. Sertifikat  saham mereka tak lagi punya nilai-mungkin hanya layak dipajang dalam  pigura untuk mengenang salah satu skandal keuangan terbesar di awal abad  ini. Skandal Enron lebih dahsyat dari Skandal Saham Bre-X di Bursa  Kanada beberapa tahun lalu. Saham Bre-X meroket hanya untuk terjun bebas  setelah perusahaan itu mengaku bahwa tambang emasnya di Busang,  Kalimantan, terbukti palsu.
Kolapsnya Enron juga mengguncang  neraca keuangan para kreditornya yang harus gigit jari meski telah  mengucurkan milyaran dolar-JP Morgan Chase dan Citigroup adalah dua  kreditor terbesarnya.
Hujan tangis mewarnai dengar pendapat dalam  sebuah komite kongres awal Januari ini ketika para karyawan Enron dan  investor kecil-kecilan mengisahkan bagaimana simpanan hari tua mereka  musnah hampir seketika. Sebagian besar dana pensiun dan tabungan 20.000  karyawan Enron terikat dalam saham yang kini tiada nilai.
Beberapa  pekan sebelum bangkrut, Enron juga memecat sekitar 5.000 karyawannya,  dari teknisi komputer di Texas hingga pendaur-ulang kertas di New  Jersey, menambah beban pengangguran di Amerika yang sekarang sudah  mencapai tingkat terburuk dalam 25 tahun terakhir.
Dengan dampak  demikian luas, drama sebenarnya-juga sirkus–bahkan baru saja dimulai.  Skandal Enron menemukan bentuk barunya di panggung pertempuran hukum  yang luas, baik pidana maupun perdata. Implikasi politiknya terbukti  telah ikut mengguncang sekaligus Gedung Putih dan Capitol Hill (Gedung  Kongres).
Departemen Kehakiman kini menyidik kemungkinan adanya  aspek pidana dalam kasus itu. Empat komite kongres, semacam panitia  khusus (pansus) DPR di sini, giat mengaduk apa yang tersembunyi. Dan  Departemen Tenaga Kerja mencoba mencari siapa yang bertanggungjawab atas  kerugian besar para karyawan.
Salah satu episode paling menarik  akan dipertontonkan 4 Februari mendatang ketika sebuah komite kongres  mengundang aktor utama dalam drama ini: Kenneth L. Lay, presiden  komisaris sekaligus direktur Enron. Ken Lay akan ditanyai banyak hal.  Salah satunya: bagaimana bisa dia meraup untung ratusan juta dolar dari  penjualan saham Enron sementara ribuan karyawan nyaris kiamat hidupnya  tanpa perlindungan?
Sejak akhir tahun 2000, ketika harga saham  Enron di posisi puncak, para eksekutif menjual saham yang mereka miliki  dengan total nilai US$ 1,1 milyar. Selama empat tahun terakhir, Ken  sendiri diperkirakan meraup untung US$ 205 juta dari penjualan sahamnya.  Dalam kurun yang sama dia membujuk karyawan dan investor untuk membeli  saham Enron, antara lain dengan iming-iming laporan keuangan yang  menjanjikan tapi palsu itu.
Bahkan pada 26 September 2001, ketika  harga saham jatuh menjadi US$ 25 per lembar, Ken Lay masih mencoba  menghibur karyawan untuk tidak menjualnya, sebaliknya membujuk mereka  membeli. Dalam e-mail yang dikirimkan kepada para karyawan yang risau,  dia mengatakan perusahaan dalam kondisi sehat secara keuangan dan bahwa  harga saham Enron “luar biasa murah” dalam posisi itu. Namun, hanya  beberapa pekan kemudian, Enron melaporkan kerugian yang bermuara pada  kebangkrutannya. Para karyawan tak bisa menjual saham mereka sampai  semuanya sudah terlambat: Enron kehilangan nilai sama sekali.
Pertanyaan  penting lain akan menyangkut inti dari skandal ini: Mengapa Lay  membolehkan para eksekutif Enron membentuk sejumlah perusahaan rekanan  rahasia dengan institusi di luar yang tidak jelas reputasinya? Tidakkah  dia dan dewan direksi mengeduk keuntungan dari perusahaan rekanan itu,  sekaligus menyembunyikan hutang Enron di situ sehingga neraca keuangan  Enron tetap nampak manis padahal kenyataannya busuk?
Pertanyaan  serupa akan diajukan para penyidik kepada para eksekutif di Arthur  Andersen, perusahaan akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan  Enron. Bagaimana bisa mereka kecolongan selama beberapa tahun tanpa  menandai penyimpangan dalam akutansi Enron yang agresif, bahkan kriminal  itu? Seberapa banyak Andersen tahu tentang pemusnahan sejumlah dokumen  audit Enron oleh salah satu auditornya? Pertanyaan yang lebih kejam:  tidakkah Andersen ikut terlibat mempermak laporan keuangan mengingat  Enron membayar mahal perusahaan itu-US$ 52 juta pada tahun 2000-tak  hanya untuk jasa audit tapi juga jasa konsultasi?
Tapi, soal bisa  akan lebih sederhana andai saja hanya Ken Lay, atau Arthur Andersen,  yang bisa jadi kambing hitam. Skandal Enron tak sesederhana itu.
Jebolnya  pertahanan berlapis, Majalah Newsweek menulis, skandal ini cukup  menakutkan. Yakni kegagalan sistemik, sesuatu yang sebenarnya tercermin  jelas dalam Tragedi 11 September. Saat itu, semua perangkat seperti bisu  dan tuli tak bisa mencegah teroris membajak empat pesawat,  menabrakkannya ke pencakar langit dan membunuh ribuan orang. Dalam kasus  Enron, sistem kontrol berlapis-lapis tidak bisa mencegah segelintir  orang memuaskan ketamakan di atas penderitaan banyak orang.
Para  direktur perusahaan publik punya kewajiban legal dan moral untuk  memberikan data keuangan yang jujur-para direksi Enron tidak  melakukannya.
Fungsi auditor independen tak hanya memastikan  bahwa laporan keuangan sebuah perusahaan sesuai dengan aturan dan  standar akutansi, tapi juga memberi investor maupun kreditor gambaran  yang fair serta akurat tentang apa yang terjadi. Andersen gagal di dua  lapangan itu.
Para analis di Wall Street diharapkan menyiangi  secara kritis apa yang tersembunyi di balik angka-angka-tak satupun  melakukannya. Bahkan nyaris tak satu pun para wartawan bisnis-pilar  keempat demokrasi-mampu mengendus keanehan Enron sampai kebusukan telah  demikian menusuk hidung.
Skandal Enron tak hanya menyangkut  episode ketika perusahaan itu rontok tiba-tiba. Tapi, juga misteri  bagaimana dia mencuat menjadi raksasa yang meteorik. Dan ini merupakan  bagian yang lebih menakutkan lagi karena menyangkut aspek politik dan  ekonomi lebih luas, tak sekadar sektor keuangan.
Tuntutan hukum  terhadap para direktur Enron, setelah skandal tersebut, sangat menonjol  karena para direkturnya menyelesaikan tuntutan tersebut dengan membayar  sejumlah uang yang sangat besar secara pribadi. Selain itu, skandal  tersebut menyebabkan dibubarkannya perusahaan akuntansi Arthur Andersen,  yang akibatnya dirasakan di kalangan dunia bisnis yang lebih luas,  seperti yang digambarkan secara lebih terinci di bawah.
Enron  masih ada sekarang dan mengoperasikan segelintir aset penting dan  membuat persiapan-persiapan untuk penjualan atau spin-off sisa-sisa  bisnisnya. Enron muncul dari kebangkrutan pada November 2004 setelah  salah satu kasus kebangkrutan terbesar dan paling rumit dalam sejarah  AS. Sejak itu, Enron menjadi lambang populer dari penipuan dan korupsi  korporasi yang dilakukan secara sengaja. Para pemegang saham Enron Corp  dan investor akan membagi dana lebih dari USD7,2 miliar dari lembaga  keuangan yang dituduh berperan dalam kejatuhan raksasa energi itu.
Dana  penyelesaian ini merupakan yang terbesar dalam sejarah kasus kecurangan  keuangan Amerika Serikat. Jumlah USD7,2 miliar itu terus membengkak  sejak 2002, dari bertambahnya bunga dan termasuk biaya sebesar USD688  juta untuk biaya pengacara.
2.2 TANGGAPAN PUBLIK PASCA KASUS ENRON CORPORATION
Sebagaimana  diketahui, kasus Enron muncul menyebabkan indeks pasar modal Amerika  jatuh sampai 25%. Untungnya pemerintah federal bertindak cepat sebelum  sistem ekonomi kapitalis yang ditopang oleh sistem “utang” melalui  “pasar modal” itu hancur. Pemerintah berupaya mengangkat kembali  kepercayaan pasar terhadap sistem itu dan waktu itu Presiden George W  Bush bersengaja datang ke lantai Bursa Efek New York (New York Stock  Exchange) membuka pasar trading waktu itu dan menunjukkan komitmen  pemerintah federal untuk memperbaiki martabat pasar modal terutama  menghindari praktik praktik kecurangan yang semakin banyak terjadi waktu  itu.
Pada saat yang bersamaan Kongres Amerikan juga bertindak  cepat. Senator Sarbanes dan Oxley berinisiatif untuk menyusun Undang  Undang tentang Pertanggungjawaban Perusahaan Public dan akhirnya dengan  cepat draft itu disetujui kongres dan langsung diundangkan Presiden Bush  pada akhir tahun 2001 dan menjadi efektif berlaku saat itu. Sarbanes  Oxley Act ini sangat mempengaruhi professi akuntan dan pasar modal  sehingga saat ini menjadi isu yang menjadi perhatian dalam setiap  kegiatan akuntansi karena mempengaruhi professi, auditor, manajemen dan  kelembagaan.
Sebagaimana diketahui Sarbanes Oxley Act ini  mewajibkan semua pihak untuk menjaga dan melindungi perusahaan dari  praktik kecurangan sehingga manajemen, akuntan diminta untuk membuat  surat pernyataan dan menjamin agar pelaksanaan internal control yang  dapat menghindari kecurangan itu diterapkan. Memang selama ini bukan  berarti konsep dan sistem control itu tidak ada. Namun karena berbagai  factor psikologis dan dorongan motivasi ekonomis maka hal itu sering  diabaikan demi untuk memenuhi dan memuaskan kepentingan pribadi pihak  yang ikut bermain di pasar modal. Tanggungjawab manajemen ditingkatkan,  sistem pengawasan dan fungsi komite audit diperberat dan professi  akuntan independent di tata kembali, dan pemantau independent perusahaan  publikpun Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) di bentuk.
Tentang  akuntan misalnya dibatasi jasa yang boleh diberikan kantor akuntan,  lama memberikan jasa dibatasi sehingga harus dilakukan rotasi dalam  jangka waktu 5 tahun, kualitas pengungkapan di perketat dan hukuman yang  melanggarnya juga diperberat. Ketentuan ini tentu berlaku bagi semua  perusahaan yang terdaftar di pasar bursa Amerika dan juga bagi  perusahaan yang lain yang beroperasi di luar negeri atau perusahaan lain  dari luar Amerika yang mendaftarkan sahamnya untuk diperdagangkan di  Amerika. Ketentuan ini sedikit banyaknya mempengaruhi professi akuntan  di Tanah Air.
Salah satu hal yang ditekankan pasca Skandal Enron  atau pasca Sarbanes Oxley Act ini adalah perlunya Etika Professi. Selama  ini bukan berarti etika professi tidak penting bahkan sejak awal  professi akuntan sudah memiliki dan terus menerus memperbaiki Kode Etik  Professinya baik di USA maupun di Indonesia. Etika adalah aturan tentang  baik dan buruk. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal apa  yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan  sebagai anggota professi baik dalam berhubungan dengan kolega,  langganan, masyarakat dan pegawai. Kenyataannya konsep etika yang selama  ini dijadikan penopang untuk menegakkan praktik yang sehat yang bebas  dari kecurangan tampaknya tidak cukup kuat menghadapi sifat sifat  “selfish dan egois”, kerakusan ekonomi yang dimiliki setiap pelaku pasar  modal, dan manajemen yang bermoral rendah yang hanya ingin mementingkan  keuntungan ekonomis pribadinya.
Walaupun semakin banyak aturan  yang dikeluarkan oleh Standard Setting Body seperti FASB (Financial  Accounting Standard Board) atau Regulator pemerintah seperti SEC  (Security Exhange Commission) namun kecurangan selalu dapat ditutupi dan  dicari celah sehingga sampai pada puncaknya dimana kecurangan itu  terungkap dan menyebabkan kerugian semua pihak terutama investor dan  berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada professi akuntan  dan sistem pasar modal.
Untuk itulah maka profesi Akuntansi harus  berupaya menguak semua kemungkinan kecurangan yang ditimbulkan oleh  informasi akuntansi melalui laporan keuangan. Akuntansi/Auditing harus  bisa menyusun sistem sehingga bisa menghindari, mendeteksi, menemukan,  menetapkan pelakunya, menyiapkan investigasi dan bahkan membantu  membawanya ke pengadilan. Penyusunan sistem merupakan bidang sistem  pengawasan atau Internal Management Control System yang meliputi  misalnya internal audit system, internal audit charter, audit committee,  independent audit dan sebagainya. Sedangkan akuntansi/auditing harus  bisa menditeksi, menemukan segala bentuk kecurangan, jenis dan tata cara  yang dilakukan melalui laporan keuangan, serta bisa membawanya ke  pengadilan.
Dari kisah ini dapat kita tarik pelajaran bahwa  memang dalam system sekuler dimana moral dinomor duakan maka akan besar  peluang munculnya godaan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Di  Amerika dengan keluarnya UU Sarbanes Oxley (SOA) itu ternyata dapat  mengerem semakin terpuruknya kepercayaan publik terhadap profesi  akuntan. Nah di Indonesia kita tidak memiliki UU seperti SOA ini dan  sebenarnya kita memiliki banyak UU yang sejalan dengan upaya  pemberantasan kecurangan, korupsi ini. Bahkan kita banyak sekali  memiliki aparat pengawas, auditor dan pemeriksa seperiti BPK, BPKP,  Inspektorat, KPK Bawasda dan sebagainya namun kenyataannya praktik  korupsi semakin marak dengan gaya yang berbeda. Akuntan selaku bagian  dari upaya dalam menegakkan Good governance di Indonesia perlu menyusun  strategi bagaimana peran yang akan dilakukannya untuk mencegah praktik  korupsi dan pemborosan yang terjadi di negara ini.
BAB III
KESIMPULAN
Kasus  Enron Corporation terjadi akibat keegoisan satu pihak terhadap pihak  lain, dalam hal ini pihak-pihak yang selama ini diuntungkan atas  penipuan laporan keuangan terhadap pihak yang telah tertipu. Untuk  itulah kode etik profesi harus dibuat untuk menopang praktik yang sehat  bebas dari kecurangan. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal  apa yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh  dilakukan sebagai anggota professi baik dalam berhubungan dengan kolega,  langganan, masyarakat dan pegawai.
agustinus-etikaprofesiakuntansi.blogspot.com













0 comments:
Posting Komentar